Oleh : Moh. Reza Saad, S.Pi
Sistem pendidikan di Indonesia saat ini seringkali dikritik karena lebih mementingkan administrasi daripada kualitas pendidikan itu sendiri. Banyak sekolah dan institusi pendidikan yang lebih fokus pada memenuhi standar administrasi dan birokrasi daripada meningkatkan kualitas pembelajaran dan pengembangan siswa.
Akibatnya, siswa seringkali hanya diajarkan untuk menghafal dan mengerjakan soal-soal ujian, tanpa diberikan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan keterampilan praktis. Guru-guru juga seringkali dibebani dengan tugas-tugas administratif yang tidak ada hubungannya dengan proses pembelajaran, sehingga mengurangi waktu dan energi mereka untuk mengajar dan membimbing siswa.
Pendidikan seharusnya menjadi proses yang holistik dan berfokus pada pengembangan siswa secara menyeluruh, baik secara intelektual, emosional, maupun sosial. Namun, sistem pendidikan di Indonesia saat ini seringkali lebih mementingkan hasil ujian dan nilai daripada proses pembelajaran yang bermakna.
Olehnya, perlu dilakukan perubahan dalam sistem pendidikan di Indonesia untuk lebih memprioritaskan kualitas pendidikan dan pengembangan siswa, bukan hanya administrasi. Guru-guru perlu diberikan kebebasan untuk mengembangkan kurikulum dan metode pembelajaran yang lebih inovatif dan efektif, serta diberikan dukungan untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam mengajar dan membimbing siswa.
Jujur saja, jantung pendidikan di Indonesia adalah guru. Dan saat jantung itu berdetak hanya dalam tekanan administrasi dan sistem, maka pendidikan Indonesia hanya akan hidup diatas kertas tetapi mati di dalam kelas. Sebenarnya, kinerja para guru terganggu bukan karena mereka malas, tapi karena sistem pendidikan kita yang rumit dan kadang kejam, hanya mengejar angka kehadiran, bukan kualitas pengajaran. Dan yang paling menyakitkan, para guru yang seharusnya mengajarkan masa depan, justru terus dibelenggu oleh sistem pendidikan yang tak pernah dibenahi.
“Apakah menurut kalian pemerintah sedang membenahi sistem pendidikan kita?” Saya kira tidak demikian. Pemerintah tidak pernah melakukan transformasi pendidikan, melainkan hanya menambal yang kurang dari pendidikan kita. Sistemnya masih sama, mindset kita juga sama. Buktinya, kita masih menghamba pada industrialisasi, makanya kita hanya mengejar nilai/IPK dan gelar ijazahnya saja.
Menjajaki Pendidikan Maju di Asia dan Eropa
Sistem pendidikan di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan, seperti kualitas pendidikan yang belum merata, infrastruktur yang kurang memadai, dan metode pembelajaran yang masih tradisional. Dibandingkan dengan negara-negara maju di Asia dan Eropa yang telah berhasil mengembangkan sistem pendidikan yang lebih maju dan efektif.
Negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Singapura di Asia telah menunjukkan keberhasilan dalam meningkatkan kualitas pendidikan melalui pendekatan yang lebih terstruktur dan berorientasi pada hasil. Sementara, negara-negara Eropa seperti Finlandia dan negara-negara Skandinavia telah mengembangkan sistem pendidikan yang lebih berpusat pada siswa, dengan fokus pada kesejahteraan emosional, kreativitas, dan akses pendidikan yang merata.
Perbandingan antara pendidikan Indonesia dan pendidikan maju di Asia dan Eropa menunjukkan bahwa masih banyak yang perlu diperbaiki dalam sistem pendidikan kita di Indonesia. Di negara-negara maju, sekolah dijadikan sebagai ruangnya manusia, bukan ruang kurikulum. Di mana seorang guru dan siswa memiliki kesempatan yang sama untuk bertumbuh dan berkembang. Sementara, sistem di Indonesia berbeda, sistemnya menurunkan kualitas pendidikan. Kurikulum yang harusnya dijadikan sebagai alat bantu, kini kian dianggap seperti kitab suci.
Selain itu, musuh pertama dari gagalnya pendidikan kita adalah Feodalisme. Mental dan watak Feodal ini terhubung dengan sistem politik kita. Di dalam prinsip Feodalisme orang dilarang menggeleng, kita hanya boleh manggut-manggut. Demikian pendidikan kita, yang diarahkan untuk anti dialektika. Padahal, dengan jalan pendidikan kita bisa saling menegur pikiran. Itulah sebabnya, guru tidak boleh menjadi Feodal, karena guru adalah teman berpikir murid.
Terlalu feodalistik itulah budaya pendidikan kita yang masih kental sampai sekarang, sehingga membuat kita tunduk pada struktur yang lebih tinggi. Itulah kenapa birokrasi bisa mengontrol guru, dan cara yang paling gampang mengontrol guru adalah dengan administrasi. Karena dengan begitu, birokrasi bisa mengukur kinerja guru berdasarkan laporan yang tertulis pada administrasi itu sendiri. Mirisnya adalah, birokrasi tidak pernah perduli terhadap persoalan guru di lapangan, khususnya guru yang berada di pelosok desa, yang mungkin saja sarana dan prasarana sekolah kurang memadai dibandingkan dengan sekolah yang ada perkotaan.
Pilar Utama Membangun Bangsa, Pencetak Peradaban
Guru adalah profesi yang paling penting dalam membentuk generasi masa depan. Dialah sang intelektual itu, dialah sang kurikulum itu sendiri, dan dialah pilar utama dalam membangun bangsa ini. Maka yang dilakukan guru adalah menginspirasi murid-muridnya “Ad Maiora Natus Sum” untuk melakukan hal-hal besar, yang lebih besar dari dirinya, lebih besar dari ruang kelas dan bangunan sekolah, yaitu ketika murid bisa menerapkan ilmu pengetahuannya dalam menyelesaikan segala problematika nyata dan menjawab gelombang persoalan.
Apabila guru hadir sebagai sebuah instrumen membuka cakrawala dan imajinasi murid-muridnya, maka muridnya akan menjadi anak yang sadar secara kritis dan paham esensi hidupnya, bahwa keberadaan mereka itu harus banyak membantu dan bermanfaat bagi orang lain. Jadi guru, bukan hanya sekedar penentu kesuksesan anak di sekolah, bukan pula sekedar menumbuhkan potensi muridnya, lebih besar dari itu; guru adalah pahlawan pencetak peradaban.
#Selamat Hari Pendidikan Nasional