Oleh: Rifaldi Halang, S.Sos – Ketua Umum KAMMI Wilayah Gorontalo
Bulan Agustus selalu menjadi momen yang sarat makna bagi bangsa Indonesia. Di sepanjang jalan, kita melihat spanduk bertuliskan “Dirgahayu Republik Indonesia”, bendera merah putih berkibar di setiap rumah, dan berbagai perayaan kemerdekaan diadakan dengan semangat patriotik. Namun, di tengah semarak itu, muncul satu pertanyaan reflektif yang patut kita renungkan, “Apakah kita benar-benar merdeka, atau hanya mereka yang merdeka?”
Pertanyaan ini lahir dari kenyataan pahit yang kita saksikan, baik di Gorontalo maupun di berbagai daerah lain di Indonesia. Realitas hari ini menunjukkan bahwa yang benar-benar merdeka justru adalah mereka yang bisa melanggar hukum tanpa takut ditindak, yang bisa menggusur atas nama investasi, dan yang bisa merusak lingkungan tanpa menyisakan tanggung jawab.
Di Provinsi Gorontalo, terutama di Kabupaten Pohuwato, kami menyaksikan langsung bagaimana aktivitas tambang terus merangsek masuk ke kawasan perkampungan. Di beberapa desa, tambang-tambang emas dibiarkan beroperasi sangat dekat dengan pemukiman warga. Akibatnya, air limbah tambang mencemari lingkungan sekitar dan menggenangi rumah-rumah penduduk, terutama saat musim hujan tiba.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa perusahaan tambang seringkali mengabaikan hak-hak masyarakat adat atau lokal atas wilayah dan ruang hidup mereka. Sengketa lahan, kerusakan lingkungan, serta pengabaian terhadap aspirasi masyarakat menjadi pemicu konflik yang terus berulang. Benturan antara kepentingan ekonomi korporasi dan keberlangsungan hidup masyarakat lokal tak terhindarkan.
Perusahaan tambang hadir membawa izin, alat berat, dan legalitas administratif. Tapi mereka kerap lupa bahwa di atas tanah itu ada kehidupan, sejarah, dan hak rakyat yang tak bisa dihapus hanya dengan dokumen. Ketika suara rakyat ditolak, ketika masyarakat hanya dianggap penghalang investasi, maka konflik adalah keniscayaan.
Kami menilai, perusahaan tambang yang mengabaikan dialog, memaksakan operasi di atas penolakan warga, dan mengorbankan keberlanjutan hidup masyarakat lokal, telah kehilangan arah dari tanggung jawab sosial yang seharusnya menjadi prinsip dasar dunia usaha. Ini bukan investasi beradab, ini adalah bentuk kolonialisme baru dengan wajah modern.
Kondisi di Gorontalo ini mencerminkan pola yang juga terjadi secara nasional. Penegakan hukum hari ini terasa semakin tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Ketika rakyat menyuarakan kritik, mereka bisa langsung dipanggil, ditangkap, bahkan dibungkam. Sementara itu, mereka yang punya kekuasaan, modal besar, dan akses politik, bisa melenggang bebas meski melakukan pelanggaran besar.
Fakta nasional mencatat, sepanjang tahun 2024 terjadi 241 konflik agraria di Indonesia. Sebagian besar konflik tersebut berkaitan dengan tambang dan proyek-proyek besar lainnya yang mengabaikan hak-hak masyarakat. Menurut data WALHI dan Auriga Nusantara, lebih dari 75% wilayah tambang di Indonesia tumpang tindih dengan kawasan lindung, hutan, dan daerah rawan bencana. Namun, tambang terus diperluas, bahkan diberi izin baru.
Lebih ironis lagi, publik baru saja menyaksikan praktik abolisi dan amnesti terhadap pelaku korupsi dan pelanggar hukum dari kalangan elit. Di sisi lain, para aktivis yang memperjuangkan hak atas lingkungan dan keadilan justru dikriminalisasi.
Dalam konteks ini, kami dari KAMMI Gorontalo mengajukan pertanyaan yang seharusnya menjadi refleksi bersama. Apakah kita masih pantas meneriakkan “Merdeka!” jika tambang-tambang lebih bebas daripada rakyat? Apakah aparat lebih cepat merespons kritik daripada pelanggaran lingkungan? Apakah tanah air ini benar-benar milik semua, atau hanya milik segelintir yang berkuasa?
Kami khawatir, jika kondisi seperti ini terus dibiarkan, maka Indonesia bukan sedang memperingati kemerdekaan rakyat, melainkan kemerdekaan mereka. Ya, mereka yang kuat, mereka yang punya kuasa, dan mereka yang kebal hukum.
Kami tidak ingin melihat bendera merah putih dikibarkan setengah tiang. Namun jika keadilan terus-menerus dimatikan, maka setengah tiang bukan lagi sekadar simbol duka, melainkan pengingat bahwa negeri ini belum selesai merdeka.
Namun, kami tetap percaya, kemerdekaan sejati bukanlah warisan, melainkan hasil perjuangan yang terus-menerus. Dan selama masih ada yang berani bersuara, selama masih ada rakyat yang peduli dan bangkit melawan ketidakadilan, maka harapan untuk Indonesia yang adil dan beradab masih menyala.
Kami menyerukan kepada para aparat penegak hukum untuk tidak hanya menonton, tapi bertindak. Begitupun, kami menuntut pemerintah daerah dan pusat untuk menghentikan aktivitas tambang yang merusak lingkungan dan membahayakan warga. Bahkan, kami menegaskan agar perusahaan tambang untuk tidak hanya menggali tanah, tetapi juga menggali tanggung jawab sosial dan etika. Karena kemerdekaan tidak hanya tentang bendera dan upacara. Kemerdekaan adalah tentang siapa yang bisa hidup layak di tanahnya sendiri.
MERDEKA… ATAU MEREKA?