Tinjauan Kritis: Kontradiktif Antara Kebijakan Perikanan dan Kelautan dengan Asas Keadilan

oleh -206 Dilihat
banner 468x60

Sektor perikanan dan kelautan di Indonesia memiliki peran strategis dalam mendukung ekonomi nasional, pemberdayaan masyarakat pesisir, dan pelestarian sumber daya alam. Namun, beberapa kebijakan yang diterapkan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir tampak bertentangan dengan prinsip keadilan, baik dari sisi ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Dalam artikel ini, kami akan mengulas secara ringkas kebijakan yang menuai kritik dan dampaknya terhadap masyarakat, khususnya nelayan kecil dan pelaku usaha perikanan lokal, berdasarkan data dan fakta.

1. Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur: Diskriminasi bagi Nelayan Kecil

banner 336x280

Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) yang diterapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Sumber Daya Ikan bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara melalui mekanisme kuota penangkapan ikan berbasis zona. Kebijakan ini membagi wilayah penangkapan ke dalam beberapa zona yang sebagian besar kuotanya dialokasikan untuk kapal-kapal besar atau korporasi asing.

Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), pada tahun 2024, lebih dari 70% kuota di zona-zona strategis seperti WPP (Wilayah Pengelolaan Perikanan) 711 dan 718 dialokasikan untuk kapal industri besar. Sementara itu, nelayan kecil yang menggunakan kapal di bawah 5 GT (gross tonnage) hanya mendapatkan kuota tersisa yang tidak mencukupi untuk kebutuhan harian mereka. Hal ini jelas bertentangan dengan asas keadilan karena nelayan kecil, yang merupakan tulang punggung ketahanan pangan lokal, semakin tersingkir oleh kepentingan korporasi besar.

Dampaknya, nelayan kecil di berbagai daerah, seperti di Bitung, Maluku, dan Natuna, melaporkan penurunan pendapatan hingga 40% sejak diberlakukannya kebijakan ini. Mereka juga menghadapi tantangan tambahan berupa mahalnya biaya operasional akibat meningkatnya harga bahan bakar minyak (BBM) yang tidak diimbangi dengan insentif yang memadai.

Kebijakan ini pun diterapkan khususnya di Gorontalo. Namun, para nelayan tidak sepakat dengan adanya kebijakan itu sehingga nelayan pernah melakukan aksi demontrasi di DPRD Provinsi Gorontalo dan terakhir melakukan aksi di Tempat Pelalangan Ikan (TPI) Januari 2025 kemarin. Dalam aksi itu, para nelayan menilai peraturan ini meski kebijakannya dibuat untuk menekan penangkapan ikan berlebih, tetapi disinyalir jadi sarana privatisasi laut dan hanya menguntungkan segelintir orang, khusus kapal skala besar.

PIT nantinya akan memperbolehkan penanaman modal asing, pelegalan transhipment dengan catatan harus satu perusahaan pemilik kapal yang sama. Juga, pendaratan di pelabuhan perikanan dekat fishing ground, dan penerapan kuota untuk kapal penangkap ikan. Ada tiga yang diatur PIT, yakni zona penangkapan, kuota dan musim penangkapan.

2. Privatisasi Kawasan Konservasi: Merugikan Masyarakat Adat dan Lokal

Kebijakan lainnya yang menuai kritik adalah privatisasi kawasan konservasi laut untuk kepentingan investasi pariwisata dan energi. Salah satu contohnya adalah proyek pengembangan kawasan konservasi laut di Raja Ampat, Papua Barat, yang dikelola oleh perusahaan swasta dengan dalih ekowisata. Berdasarkan laporan dari organisasi lingkungan Walhi pada 2023, sekitar 45% dari kawasan laut di Raja Ampat telah dikelola oleh pihak swasta melalui izin konsesi, yang mengakibatkan terbatasnya akses masyarakat adat terhadap sumber daya laut yang menjadi bagian dari kehidupan mereka selama ratusan tahun.

Privatisasi ini tidak hanya mengurangi ruang hidup masyarakat adat, tetapi juga melanggar prinsip keadilan ekologis. Konflik antara masyarakat adat dan perusahaan pengelola kawasan konservasi meningkat, seperti yang terjadi di Kampung Arborek, di mana nelayan lokal dilarang menangkap ikan di wilayah yang sebelumnya menjadi sumber mata pencaharian utama mereka.

Terkhusus di Gorontalo, berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Gorontalo teluk Gorontalo memiliki kawasan konservasi seluas 76,580,48 Ha. Konservasi ini pemerintah berdalih bahwa akan melindungi dan melestarikan sumberdaya alam yang ada diperairan kawasan dan juga memberikan manfaat lebih untuk masyarakat pemanfaat kawasan konservasi dan pemerintah daerah, tetapi pada akhirnya hanya dimanfaatkan

Pada Tahun 2024 Pemerintah Provinsi Gorontalo berencana akan menetapkan dua pulau menjadi kawasan konservasi laut. Perihal ini,  Pulau Raja dan Pulau Popaya akan segera ditetapkan sebagai kawasan konservasi laut daerah. ​Kawasan perairan di Pulau Raja dan Pulau Popaya dinilai memiliki potensi keanekaragaman biodiversiti hayati laut. Kandungannya sangat tinggi,

3. Kebijakan Impor Garam: Pukulan bagi Petambak Garam Lokal

Kebijakan impor garam juga menjadi salah satu isu kontradiktif yang terus berulang. Pada awal 2024, pemerintah mengumumkan impor garam sebesar 3,8 juta ton untuk memenuhi kebutuhan industri. Kebijakan ini diambil meskipun data dari Asosiasi Petambak Garam Indonesia (APGI) menunjukkan bahwa produksi garam lokal mencapai 3 juta ton pada tahun 2023, dengan kualitas yang sebenarnya dapat memenuhi standar industri.

Ironisnya, harga garam lokal anjlok hingga Rp 300 per kilogram akibat masuknya garam impor yang lebih murah. Petambak garam di Madura, Jawa Timur, dan wilayah lain mengeluhkan kerugian besar karena tidak mampu bersaing dengan harga garam impor. Kebijakan ini tidak hanya merugikan petambak garam kecil, tetapi juga mengancam keberlanjutan sektor garam nasional, yang seharusnya menjadi bagian dari kedaulatan pangan.

4. Minimnya Perlindungan bagi Pekerja Migran Perikanan

Selain kebijakan domestik, isu perlindungan pekerja migran di sektor perikanan juga menjadi sorotan. Data dari International Labour Organization (ILO) pada 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 4.000 pekerja migran asal Indonesia yang bekerja di kapal-kapal asing mengalami eksploitasi, termasuk jam kerja berlebihan, upah yang tidak dibayar, dan kondisi kerja yang tidak manusiawi.

Sayangnya, pemerintah belum memberikan perhatian serius terhadap isu ini. Hingga awal 2025, belum ada aturan yang secara tegas mengatur perlindungan pekerja migran di sektor perikanan, meskipun kasus-kasus eksploitasi terus meningkat. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam perlindungan hak-hak pekerja yang semestinya menjadi tanggung jawab negara.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Kebijakan di sektor perikanan dan kelautan yang bertentangan dengan asas keadilan terus menjadi persoalan serius di Indonesia. Ketimpangan alokasi kuota penangkapan ikan, privatisasi kawasan konservasi, impor garam, dan lemahnya perlindungan pekerja migran adalah beberapa contoh nyata dari masalah ini.

Pemerintah perlu mengevaluasi kembali kebijakan-kebijakan tersebut dengan mengedepankan prinsip keadilan sosial dan ekologis. Beberapa langkah yang dapat diambil meliputi:

1. Prioritaskan nelayan kecil dalam alokasi kuota penangkapan ikan dan berikan subsidi bahan bakar untuk mengurangi beban operasional mereka.
2. Hentikan privatisasi kawasan konservasi yang merugikan masyarakat adat dan lokal, serta libatkan mereka dalam pengelolaan sumber daya alam.
3. Kurangi impor garam secara bertahap dengan meningkatkan kualitas dan daya saing garam lokal melalui program pelatihan dan subsidi.
4. Buat regulasi khusus yang melindungi pekerja migran di sektor perikanan, termasuk pengawasan ketat terhadap perusahaan yang mempekerjakan mereka.

Sebagai negara maritim terbesar di dunia, Indonesia memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa kebijakan perikanan dan kelautan tidak hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi juga mencerminkan keadilan bagi seluruh rakyatnya. Keberlanjutan sektor ini hanya dapat dicapai jika prinsip keadilan benar-benar ditegakkan.

Note : Tulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan refleksi bagi para pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan untuk menciptakan kebijakan yang lebih adil dan berpihak pada masyarakat kecil.

Penulis : Fauzia Zees, Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Kelautan UNG

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.